Cerpen Kekeluargaan : "Seragam"




Dibawah terik matahari, mereka berteriak seolah berada di hutan belantara dan tak ada yang mendengarkan aspirasi mereka. Barisan pria berseragam menjadi pagar antara pasukan mahasiswa dan gedung megah tempat berlindungnya pejabat dinas pariwisata.

“Tolak gusur sepetak kasur..!!!”
“Pemerintah serakah sepetak tanah !!”
“Dinas Pariwisata tak bijaksana !!!”

Dan masih banyak lagi teriakan dan poster aspirasi lainnya.Tentunya hal itu kreasi dari pasukan aksi mahasiswa pembela rakyat pinggir pantai. Seorang mahasiswi melangkah sembari membawa toa. Hils dengan hak 5cm itu, berhenti tepat di titik tengah antara mahasiswa dan para Polisi.

“Salam cinta salam perjuangan. Dengan cinta kami berjuang”.
“Kami mahasiswa, memang tak sepintar pejabat di dalam gedung sana ! Kami memang tidak tahu apa-apa, tapi kami tahu siapa yang harus dibela ! Membangun pariwisata tanpa menggusur sangatlah bisa ! Pemerintah saja yang terlalu serakah pada sepetak tanah di pinggir pantai ! Apakah pantai ciptaan pemerintah ?? Sehingga sorang ibu tua tidak boleh tinggaldisana ?? Apakah harus ada yang dikorbankan untuk sebuah pembangunan ?? Dimana nurani kalian?? Temui kami, jika kalian memang menjabat untuk kemajuan kota ini !!!”, teriak Raflesia dengan tegas.

“Hidup mahasiswa !! Hidup rakyat Indonesia !!”, teriak seluruh peserta aksi lainnya.
Aksi terus berlangsung, sementara Arifin Cahyo hanya mengintai dibalik jendela gedung.Ia hanya menghembuskan nafas panjang ketika melihat Raflesia yang memimpin aksi tersebut.

Hingga aksi tersebut usai, Raflesia masih menggebu-gebu ingin bertemu Kepala Dinas Pariwisata.Ia kembali berdiri tepat dihadapan seorang Polisi penjaga gerbang.

“Sampaikan pada Arifin Cahyo, jika dia pemimpin bijak, jangan memutuskan perkara ini secara sepihak”, ucapnya dingin sambil melirik nama polisi tersebut.

“Pak Polisi Dirgantara Baskara, yang saya hormati”, lanjutnya.

Raflesia membalikkan badannya dan melangkah menjauh.Namun, sebuah kalimat menghentikan langkahnya.

“Pulanglah. Atur cara berpakaianmu sebelum kamu mengatur pemerintah”, ucap Kara merendahkan.

Seragam dress batik selutut dengan pita dileher, sekilas seperti pramugari. Untungnya ia mengenakan almamater dan name tag sebagai tanda mahasiswa tata kecantikan.

Raflesia kembali melangkah mendekati Kara.

“Seragammu tidak mencerminkan seorang aktivis ”, ketus Kara.

“Aktivis tidak diukur dari seragamnya, tapi dari aktivitasnya.Seragam itu identitas, bukan batas.

Dengan atau tanpa seragam ini, pendapat saya tetap sama. bertentangan dengan pemerintah”, jelas Raflesia dengan volume yang tidak keras tapi tegas.

Mereka saling menatap dengan tatapan dingin tanpa berkedip.

“Pemerintah tidak butuh kritikan, tapi solusi permasalahan.Peduli itu tidak hanya keperpihakan, tapi tindakan menyelesaikan bukan memperkeruh keadaan”, lawan Kara.

Raflesia hanya diam seribu bahasa.Ia cukup tau diri karena ia dan kawan-kawan mahasiswa lainnya belum menemukan solusi terbaik. PR baginya untuk menemukan cara membangun wisata pinggir pantai tanpa menggusur rumah mbah Murni.

“Mbah…”, Raflesia menyapa dengan halus meskipun penampilannya terlihat garang dengan jeans panjang sobek-sobek.

“Iya non..Duduklah sembari menunggu senja”, ajak Mbah Murni sambil menepuk kursi tua yang didudukinya.

Raflesia duduk dan menatap Mbah Murni yang tak berkedip memandangi ombak sore itu.

“Apa mbah tidak kesepian tinggal disini sendirian ?”, tanya Raflesia sambil menikmati angin pantai.

“Tidak non, sebab kenangan itu selalu menemani mbah”, ucap mbah Murni disertai segaris senyum.

“Bukankah lebih baik mbah pindah dan tinggal dirumah yang disediakan pemerintah.Disana mbah bisa membuat kenangan baru”.

“40 tahun lalu, Sekar dan mbah Karno hilang di laut ini.Ombak tenang yang kita lihat sekarang, pernah menghanyutkan orang-orang kesayangan mbah.Meskipun begitu, mbah tidak membenci laut dan ombak ini.Sebab, di pantai indah inilah mbah selalu menunggu ombak itu membawa mereka kembali.Mungkin lebih tepatnya menanti. Meskipun semua warga pindah kehunian mewah yang diberikan pemerintah, mbah akan tetap menua disini, bersama kursi tua yang kita duduki ”.

Meski ia bercerita dengan nada tegar tanpa setitikpun air mata. Wanita 60 tahun itu berhasil membuat Raflesia terharu. Raflesia memeluk mbah Murni, ia menyesali keputusasaannya dalam memperjuangkan keingingan mbah Murni.

“Mbah… Jika saya gagal mempertahankan rumah ini. Apakah mbah akan tetap tinggal disini ?” tanya Raflesia dengan penuh rasa bersalah.

“Tentu saja. Mbah tidak akan bisa pindah. Menciptakan kenangan baru, sementara kenangan lama saja belum habis, itu sulit. Meskipun tanpa rumah ini, mbah akan tetap menanti penghuni rumah ini di pantai yang sama. Disini”.

Ia mengusap kepala Raflesia. Raflesia hanya tersenyum, kemudian memasang kacamata hitamnya agar matanya yang berkaca-kaca tidak begitu Nampak.

Raflesia berjalan menyusuri bibir pantai sambil memikirkan solusi terbaik untuk masa depan pantai dan mbah Murni. Diatas pasir putih, Ia membaringkan tubuh langsingnya yang dibalut kaos putih lengan pendek yang kebesaran. Dibiarkannya mentari membakar kulit putihnya. Sejenak, ia memejamkan matanya.

“Handpone !Rumah panggung pinggir pantai, aku yakin rumah mbah Murni bisa menjadi sampel.”
Raflesia terus mencari informasi mengenai rumah panggung sederhana dan cocok  untuk tempat peristirahatan di pinggir pantai.

Tiba-tiba sebuah suara mengusik konsentrasinya.

“Mbah, saya mohon segera tinggalkan rumah ini”, sambil memegang tangan perempuan tua itu.
“Maaf.Tapi mbah sungguh tidak bisa”, dengan mata berkaca-kaca.

“Jika tidak, besok pemerintah bisa mengusir mbah secara kasar dan paksa.Tolong mbah, mengertilah !”, dengan nada suara yang mulai tinggi dan genggaman tangannya yang semakin dipererat.

“Cukup !Anda tidak seharusnya bicara kasar pada orang tua. Andalah yang harus mengerti !”

Raflesia melepaskan tangan mbah Murni dari genggaman Kara.

“Kamu lupa ?Kemarin kamu juga melakukan hal yang sama pada Arifin Cahyo”.

Kara mendekati wajah Raflesia dan menatapnya nanar.

“Bagaimana perasaan anda jika ibu anda diperlakukan seperti ini ?”, tanya Raflesia dengan nada yang tidak kalah tinggi.

“Lalu bagaimana perasaanmu jika yang kamu demo adalah ayahmu sendiri”, Kara meluapkan amarahnya.

Raflesia hanya diam. Matanya berkaca-kaca dan ia berpaling dari Kara. Ia melangkah menjauhi Kara.
“Saya hanya berusaha menyelamatkan mbah Murni, sebelum besok beliau diusir dengan cara yang kasar. Lakukanlah apapun untuk membelanya, dengan dan tanpa seragam, andalah yang lebih leluasa”, ucap Kara jujur.

Raflesia berhenti melangkah.Air matanya terus mengalir. Namun, ia memutuskan untuk meninggalkan tempat itu. Senja menjadi saksi bahwa wajah mereka berdua tak saling bersinar lagi.

“Ayah….”, Raflesia memohon dengan mata berkaca-kaca.

“Maafkan ayah.Mbah Murni tidak punya bukti kepemilikan, tanah itu memang hak pemerintah”.

Raflesia bersandar di pundak Ayahnya.Mereka tenggelam dalam rasa bersalah.Hening.

“Kecuali…”

“Kecuali apa ayah ?”

“Kecuali pimpinan Sea World yang menangani proyek pembangunan membutuhkan rumah itu”, sambil menyodorkan sebuah kartu nama.

Raflesia mengusap air matanya.Ia tersenyum, kemudian pergi membawa kartu nama itu.

“Ayah yakin kamu bisa”, ucap ayah Raflesia sambil membuka kacamatanya.

Raflesia berhasil menemukan rumah Ganda Atmajaya. Beruntungnya lagi, ia bisa bertemu langsung dengan pimpinan Sea World itu. Dengan jelas dan bersemangat ia mempersentasikan ide brilliannya tentang desiain rumah panggung pinggir pantai. Ia juga menunjukkan foto-foto desainnya yang sederhana dan unik seperti rumah Mbah Murni.

“Sejujurnya, saya belum pernah mengobservasi rumah tersebut.Saya juga belum menyatakan rumah itu harus digusur.Tapi, saya dan pihak pemerintah sudah sepakat bahwa rumah itu harus dikosongkan”, jelas Ganda.

“Saya mohon pak, biarkan penghuni rumah itu tetap tinggal disana.Bapak bisa merekontruksi rumahnya menjadi sampel proyek bapak atau mempekerjakan beliau sebagai petugas kebersihan di pantai itu atau sebagainya.Asalkan beliau bisa tetap tinggal disana”.

“Desainmu bagus, idemu juga masuk akal meskipun sedikit sulit direalisasikan.Akan saya pertimbangkan lagi soal rumah itu. Tapi, saya ingin tau apa alasan kamu begitu bersikeras untuk mempertahankan rumah itu beserta pemiliknya ?”

“Setiap orang punya kenangan, Pak. Mungkin hanyalah sebuah kenangan, tapi tidak ada orang yang sanggup membeli dan menggantinya. Kenanganlah harta yang tidak bisa dicuri orang lain. Seharusnya tidak ada orang yang berniat menghapus kenangan orang lain”, dengan mata berkaca-kaca Raflesia berusaha meyakinkan Ganda.

“Baiklah.Kita lihat saja besok”.

Hanya itu kalimat penutup diucapkan pimpinan Sea World. Sebenarnya Ganda terharu, namun ia tetap tidak bisa memutuskan semuanya semudah itu.

Dengan perasaan yang harap-harap cemas, Raflesia dan motor trackernya meninggalkan rumah Ganda Atmajaya.

Kara memandangi wajah dan seragamnya didalam cermin.Ia dihantui rasa bersalah pada mbah Murni dan Raflesia. Hari H telah tiba.

“Sebenarnya aku ini di pihak siapa ? Pemerintah dan ayah, atau mahasiswa dan mbah itu ?”, batin Kara.

Sementara Raflesia memandangi kaca jendela dengan perasaan yang tak karuan.Apa yang akan terjadi pada mbah murni jika rumah itu benar-benar digusur.

“Argh !Mungkin polisi itu benar, aku hanya peduli tanpa punya solusi”.

Pagi itu, pihak pemerintah dan Sea World sudah berkumpul di pantai tempat rumah mbah murni berdiri.Kara menjadi menjadi pengawal Arifin Cahyo dan Ganda Atmajaya.

Sementara Raflesia sedang menemani mbah Murni menikmati detik-detik terakhir di rumahnya sambil memandangi foto anak dan suaminya.

Kemudian Kara datang.

“Mbah, mereka meminta saya untuk membawa mbah keluar”, dengan nada rendah.

Ketika Kara ingin memegang tangan mbah Murni, Raflesia terlebih dahulu telah memegang tangan mbah Murni dan membawanya keluar tanpa sepatah kata.

Arifin Cahyo dan Ganda Atmajaya langsung masuk ke rumah itu.Mereka berdiskusi disana.Sedangkan Kara hanya menuggu diluar sambil memandangi Raflesia dan mbah Murni yang sedang duduk di kursi tua pinggir pantai.

Raflesia hanya tertunduk.Ia pasrah dengan keputusan pimpinan Sea World, sebab ia memang tidak bisa melakukan apapun lebih dari apa yang telah ia lakukan selama ini.

Tak lama berselang, Arifin Cahyo dan Ganda Atmajaya keluar dari rumah tua mbah Murni.Mereka menghampiri Raflesia dan mbah Murni.

Ganda Atmajaya membuka kacamata hitamnya.

“Mungkin ini diluar rencana saya, tapi entah mengapa, ide yang diberikan mahasiswa ini sangat menarik dan logis.Saya rasa rumah ini tidak harus digusur.”

Ganda kemudian mengulurkan tangannya sebagai ucapan selamat kepada mbah Murni dan Raflesia.
Dengan rasa tak percaya, Raflesia dengan muka bingung dan mata tak berkedip hanya terdiam.Ia hampir lupa menyambut uluran tangan Ganda.

Mbah Murni memeluk Raflesia.Kara dan ayah Raflesia hanya tersenyum menyaksikan hal itu.

Cahaya cerah mentari seolah merambat lurus, menyorot air mata haru Raflesia dan mbah Murni pagi itu.

Sepatu hak 5 cm itu terus berlari menuju bibir pantai.Meskipun haknya tenggelam dalam pasir, pemakai sepatu itu seolah tak menghiraukan.

Tepat di bibir pantai sepatu itu berhenti dan dilepas, Raflesia membaringkan tubuhnya yang masih dibalut oleh seragam kuliah mahasiswa tata kecantikan.Ia membiarkan ombak menyentuhnya, dan ia tersenyum senang kepada mentari yang beranjak naik. Ia memejamkan matanya, menikmati sensai berjemur dengan pakaian formal.

Kara yang tadinya hanya memandangi ekspresi bahagia Raflesia yang unik, kini ikut menyusul untuk berjemur di bibir pantai tanpa melespas seragam polisinya. Eh, tunggu dulu, tentu saja ia melepas sepatunya yang berat itu.

Kara dengan perlahan perbaring disebelah Reflesia, dengan kedua tangan yang dijadikan bantal.Ia pun ikut memejamkan mata seperti apa yang dilakukan Raflesia.

Mendengar hembusan nafas panjang dari Kara, Raflesia membuka matanya dan sedikit kaget.

“Heh, pak polisi. Mengapa anda berbaring disebelah saya tanpa minta izin ?”, Raflesia membuka suara dengan sinis.

“Izinkan saya untuk berbaring disini, tanpa harus membawa jabatan sebagai polisi dan tanpa harus diajak bicara dengan bahasa yang formal”, dengan tetap memejamkan mata Kara berkata demikian.
“Baiklah, karna suasana hatiku sedang baik, aku turuti keinginanmu”.

“Kamu amat tidak cocok dengan seragam yang feminim itu.Sikap dan sifat tomboimu tidak akan tertutupi”.

“Kamu adalah orang keberkian kalinya yang mengatakan hal itu.Apapun kata orang, bagiku semua wanita berhak tampil cantik meskipun sifat dan sikapnya tidak seperti seorang wanita”.

“Jadi itu motivasimu mengambil jurusan tata kecantikan ?”

“That’s right. Aku ingin membantu semua wanita tampil cantik tanpa memandang karakter mereka”
“Kali ini aku sependapat dengan pimpinan Sea World. Idemu bagus”

“Yah, itu semua berawal dari kata-katamu yang menusuk. Mendemo ayah sendiri tanpa membantu mencari solusi, itu hal yang sia-sia”

“Ayahmu ? Jadi Arifin Cahyo itu ayahmu ?”, Kara sangat kaget dan langsung bangun dari berbaringnya.

“Tak usah berlebihan, kami berdua memang seprofesional itu. Jika bukan karena dukungan ayah dan kemurahan hati Ganda Atmajaya, mungkin semua ini hanya akan jadi ekspektasi”

“Dia memang murah hati, itu sebabnya ia tidak pernah mau terjun kedunia politik dan pemerintahan, sebab kadang keduanya tak memandang hati”

“Dia ?Maksudmu ?”

“Ayahku. Ganda Atmajaya”

Raflesia terbelalak dan segera bangun dari berbaringnya seperti yang dilakukan Kara sebelumnya.

“Hah ! Lelucon macam apa itu ? Kamu tak perlu meledekku hanya karena aku mendemo ayahku sendiri”

“Ini bukan lelucon.Lagipula kamu tidak perlu sekaget itu.”

“Jika ayahmu tidak mau terikat pemerintah, mengapa kau menjadi bagian dari pemerintah ?”

“Bagiku, menjadi bagian dari pemerintah ataupun hanya sekedar terikat dengan pemerintah adalah suatu keharusan. Ada banyak hal yang bisa kulindungi, meskipun kadang harus dibenci”

“Aku tidak membenci polisi”

“Kebanyakan orang membenci. Padahal kami hanya melakukan apa yang bisa melindung masyarkat. Tapi kadang, mereka lebih berpandangan bahwa itu menyakiti bukan melindungi”

“Jujur, memang beberapa polisi ada yang seperti itu. Nila setitik rusak susu sebelanga. Kurasa masyarakat juga tidak sepenuhnya salah”

“Aku tidak menyalahkan siapapun. Meskipun orang akan tetap melihat titik hitam di selembar kertas putih, aku akan tetap membiasakan melakukan yang benar”

“Sudah seharusnya. Kadang orang lebih suka membenarkan yang biasa, kamu harus mengubahnya”

“Aku mencintai seragamku, meskipun mereka mebenciku karena seragam ini”

“Aku juga mencintai seragamku, meskipun mereka mengatakan kerakterku tidak mencerminkan seragamku”

Tanpa disadari, Kara dan Raflesia sudah berbicara sangat jauh dan terbuka.

“Seragam itu identitas, bukan sebuah batas apalagi hanya untuk formalitas”

Kara dan Raflesia mengatakan hal itu secara bersamaan.Mereka kemudian saling menatap dan tertawa.Mereka kembali berbaring menikmati ayunan ombak yang membasahi seragam mereka masing-masing.

Dialog di bibir pantai itu membuat kedua pemilik seragam yang berbeda itu menjadi lebih hangat. Tidak beku seperti awal bertemu.Benar, bahwa kenyamanan itu adalah soal rasa, bukan tampilan. Entah mereka saling jatuh cinta atau tidak, seragam atau tampilan lainnya tidak akan menghalangi sebuah perasaan. Apapun itu.

-------------------------END---------------------


Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Cerpen Kekeluargaan : "Seragam""

Posting Komentar

Silahkan berkomentar dengan bijak dan sesuai dengan pembahasan...

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel